Satu pilot tertangkap menggunakan narkotika saja sudah berbahaya, apalagi dua. Itu skandal. Yang lebih menghebohkan lagi adalah fakta bahwa penggunaan narkoba di kalangan pilot menjadi bagian dari gaya hidup.
Setidaknya itulah yang muncul dari pernyataan Direktur Penindakan dan Pengejaran Badan Narkotika Nasional (BNN), Benny Mamoto, bahwa peredaran narkotik di antara para pilot dan awak penerbangan berlangsung antarteman.
Bahkan, seorang mantan pramugari maskapai swasta, Diva bercerita para pilot mengkonsumsi narkoba karena tekanan pekerjaan. "Dia mencontohkan, dalam standar penerbangan internasional, maksimal jam terbang kru pesawat adalah 30 jam per minggu. Nyatanya, di beberapa maskapai swasta Indonesia, kru pesawat kerap terbang selama 12 jam sehari. Itu artinya dalam satu pekan mereka bisa berada di udara sekitar 70 jam."
Direktur Umum Lion Air Edward Sirait sudah membantah kemungkinan mereka mempekerjakan pilot-pilot melebihi jam terbang normal. "Sakit sedikit pun pasti kami wajibkan periksa ke dokter. Apabila menolak maka kami anggap pelanggaran,” ujarnya seperti dikutip tempo.co.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa Lion Air kini tengah kedapatan kebobolan dari segi pengawasan. Tak sampai satu bulan, sudah ada dua pilot yang terbukti mengonsumsi metamfetamin alias sabu.
Berita penangkapan pilot ternyata tidak membawa pengaruh terhadap penjualan tiket Lion Air.
Yahoo! Indonesia mengadakan polling sendiri. Kami menanyakan pada pembaca, apakah berita soal penangkapan pilot mengonsumsi sabu membuat mereka takut terbang?
Dari 488 orang yang menjawab, 72 persen menjawab takut, sementara 28 persen mengaku tak peduli.
Wajar mereka menjawab takut, karena ketika kami tanya lagi, maskapai apa yang paling sering mereka gunakan, dari 5291 pemilih, ada 41 persen yang menjawab Lion Air. Garuda Indonesia berada di posisi kedua dengan 32 persen, lalu Sriwijaya Air dengan 8 persen, Air Asia dengan 7 persen, dan Batavia Air dengan 6 persen.
Survey ini membuktikan bahwa pangsa pasar Lion Air di Indonesia (di antara pembaca Yahoo! Indonesia) adalah yang terbesar. Jika Lion Air belum menyadarinya, mereka kini punya tanggung jawab yang lebih besar untuk menjaga keamanan penumpangnya.
Harga murah seharusnya tidak menjadi alasan bahwa standar keamanan seolah jadi bagian yang bisa ditawar. Makanya disebut 'standar', ada ketentuan yang harus dipenuhi untuk menjaga keamanan.
Lion Air memang sudah berjanji, menjamin, tidak akan ada lagi pilotnya yang mengonsumsi narkoba. Tetapi pembaca kami Oki dari Jakarta meminta ketegasan, "Walaupun ada aturan perusahaan yang menegaskan seluruh kru harus bebas dari narkotika, yang jadi pertanyaan, hal apa yang dilakukan Lion Air untuk menjamin hal itu terwujud?"
Banyak pembaca lain yang menggarisbawahi perlunya peningkatan pengawasan bagi para awak pesawat, karena pengawasan yang terjadi selama ini terbukti tidak efektif.
Seperti kata hey di Jakarta, "Test urine satu jam sebelum berangkat. Pilot cadangan harus disiapkan, bilamana pilot yang mau terbang ketahuan memakai narkoba saat tes maka pilot cadangan harus di-tes untuk kemudian menerbangkan pesawat." Hal yang sama juga disarankan oleh Gerard B di Jakarta, Topan di Jakarta, dan Raharjo Palaly di Jakarta.
Komentator dari Singapura malah mengusulkan sesuatu yang lebih drastis. "Kalau maskapai sudah tidak berdaya mengurusi pilotnya, ya ditutup saja izin operasionalnya karena keamanan dan keselamatan penumpang telah diabaikan oleh maskapai tersebut. Safety first! Pemerintah harus tegas dan berani."
Indri dari Jakarta mengingatkan kembali kebiasaan buruk kita (sayangnya). "Saya yakin ini kasus bakal hangat-hangat tahi ayam. Sekarang pada gencar-gencar dilakukan pemeriksaan urine sebelum pilot bertugas, nanti lama-lama juga tenggelam, tidak ada lagi pemeriksaan."
Dengan fakta-fakta seperti ini, sudah teryakinkankah Anda untuk terbang lagi?
Anda sedang membaca artikel tentang Skandal Pilot Memakai Narkoba dan anda bisa menemukan artikel Skandal Pilot Memakai Narkoba ini dengan url http://rickyfumi.blogspot.com/2012/02/satu-pilot-tertangkap-menggunakan.html,anda boleh menyebar luaskannya jika artikel Skandal Pilot Memakai Narkoba ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda, namun jangan lupa untuk meletakkan link Skandal Pilot Memakai Narkoba sebagai sumbernya.
Setidaknya itulah yang muncul dari pernyataan Direktur Penindakan dan Pengejaran Badan Narkotika Nasional (BNN), Benny Mamoto, bahwa peredaran narkotik di antara para pilot dan awak penerbangan berlangsung antarteman.
Bahkan, seorang mantan pramugari maskapai swasta, Diva bercerita para pilot mengkonsumsi narkoba karena tekanan pekerjaan. "Dia mencontohkan, dalam standar penerbangan internasional, maksimal jam terbang kru pesawat adalah 30 jam per minggu. Nyatanya, di beberapa maskapai swasta Indonesia, kru pesawat kerap terbang selama 12 jam sehari. Itu artinya dalam satu pekan mereka bisa berada di udara sekitar 70 jam."
Direktur Umum Lion Air Edward Sirait sudah membantah kemungkinan mereka mempekerjakan pilot-pilot melebihi jam terbang normal. "Sakit sedikit pun pasti kami wajibkan periksa ke dokter. Apabila menolak maka kami anggap pelanggaran,” ujarnya seperti dikutip tempo.co.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa Lion Air kini tengah kedapatan kebobolan dari segi pengawasan. Tak sampai satu bulan, sudah ada dua pilot yang terbukti mengonsumsi metamfetamin alias sabu.
Berita penangkapan pilot ternyata tidak membawa pengaruh terhadap penjualan tiket Lion Air.
Yahoo! Indonesia mengadakan polling sendiri. Kami menanyakan pada pembaca, apakah berita soal penangkapan pilot mengonsumsi sabu membuat mereka takut terbang?
Dari 488 orang yang menjawab, 72 persen menjawab takut, sementara 28 persen mengaku tak peduli.
Wajar mereka menjawab takut, karena ketika kami tanya lagi, maskapai apa yang paling sering mereka gunakan, dari 5291 pemilih, ada 41 persen yang menjawab Lion Air. Garuda Indonesia berada di posisi kedua dengan 32 persen, lalu Sriwijaya Air dengan 8 persen, Air Asia dengan 7 persen, dan Batavia Air dengan 6 persen.
Survey ini membuktikan bahwa pangsa pasar Lion Air di Indonesia (di antara pembaca Yahoo! Indonesia) adalah yang terbesar. Jika Lion Air belum menyadarinya, mereka kini punya tanggung jawab yang lebih besar untuk menjaga keamanan penumpangnya.
Harga murah seharusnya tidak menjadi alasan bahwa standar keamanan seolah jadi bagian yang bisa ditawar. Makanya disebut 'standar', ada ketentuan yang harus dipenuhi untuk menjaga keamanan.
Lion Air memang sudah berjanji, menjamin, tidak akan ada lagi pilotnya yang mengonsumsi narkoba. Tetapi pembaca kami Oki dari Jakarta meminta ketegasan, "Walaupun ada aturan perusahaan yang menegaskan seluruh kru harus bebas dari narkotika, yang jadi pertanyaan, hal apa yang dilakukan Lion Air untuk menjamin hal itu terwujud?"
Banyak pembaca lain yang menggarisbawahi perlunya peningkatan pengawasan bagi para awak pesawat, karena pengawasan yang terjadi selama ini terbukti tidak efektif.
Seperti kata hey di Jakarta, "Test urine satu jam sebelum berangkat. Pilot cadangan harus disiapkan, bilamana pilot yang mau terbang ketahuan memakai narkoba saat tes maka pilot cadangan harus di-tes untuk kemudian menerbangkan pesawat." Hal yang sama juga disarankan oleh Gerard B di Jakarta, Topan di Jakarta, dan Raharjo Palaly di Jakarta.
Komentator dari Singapura malah mengusulkan sesuatu yang lebih drastis. "Kalau maskapai sudah tidak berdaya mengurusi pilotnya, ya ditutup saja izin operasionalnya karena keamanan dan keselamatan penumpang telah diabaikan oleh maskapai tersebut. Safety first! Pemerintah harus tegas dan berani."
Indri dari Jakarta mengingatkan kembali kebiasaan buruk kita (sayangnya). "Saya yakin ini kasus bakal hangat-hangat tahi ayam. Sekarang pada gencar-gencar dilakukan pemeriksaan urine sebelum pilot bertugas, nanti lama-lama juga tenggelam, tidak ada lagi pemeriksaan."
Dengan fakta-fakta seperti ini, sudah teryakinkankah Anda untuk terbang lagi?
Posted by Ricky Kurniawan
at Friday, February 10, 2012
0 Comment
Post a Comment